Kejaksaan Agung (Kejagung) sita uang senilai Rp11,8 triliun lebih terkait kasus korupsi persetujuan ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit.
Penyitaan ini berasal dari lima terdakwa korporasi di bawah Wilmar Group. Info Kriminal Hari Ini akan membahas lebih dalam lagi mengenai kasus korupsi CPO.
Latar Belakang Kasus Korupsi CPO
Kasus korupsi ini berkaitan dengan pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya pada industri kelapa sawit selama periode 2021-2022. Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyita uang sebesar Rp11,8 triliun dalam perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO atau minyak goreng korporasi.
Kasus korupsi yang semakin meningkat menyebabkan jumlah kerugian keuangan negara juga meningkat. Pada tahun 2020, potensi kerugian keuangan negara dari kasus korupsi sebesar Rp18,6 triliun, yang kemudian meningkat menjadi Rp26,438 triliun pada tahun berikutnya, menunjukkan kenaikan sebesar 47,6%.
Proses Penyitaan Uang
Penyitaan uang senilai Rp11,8 triliun ini dilakukan setelah Kejagung menerima pengembalian kerugian keuangan negara dari tersangka korupsi di Wilmar Group. Uang tersebut diserahkan oleh lima anak usaha Wilmar, yaitu PT Multimas Nabati Asahan. PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Uang sitaan ini langsung dimasukkan ke rekening penampungan Jampidsus. Sebagian dari uang tersebut tampak disusun rapi mengelilingi meja konferensi pers di Gedung Bundar Kejagung RI, ditumpuk hingga lebih dari 2 meter, dan uang pecahan Rp100.000 itu dibungkus plastik, dengan setiap paket bernilai satu miliar.
Menurut internal kejaksaan, uang yang ditampilkan di markas Direktorat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) mencapai Rp2 triliun dari total Rp11,8 triliun yang disita. Jumlah uang yang dikembalikan ini merupakan hasil perhitungan kerugian negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Barang bukti yang telah disita juga dimasukkan ke memori kasasi karena perkara ini masih berproses di Mahkamah Agung.
Tuntutan dan Vonis
Pada tanggal 19 Maret 2025, tiga korporasi yang terlibat dalam kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO periode Januari 2021 hingga Maret 2022, yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group, divonis bebas dari semua tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Meskipun majelis hakim menyatakan bahwa para terdakwa terbukti melakukan perbuatan sesuai dakwaan JPU, perbuatan tersebut dinyatakan bukan tindak pidana atau onslag, sehingga para terdakwa dibebaskan dari semua dakwaan.
Namun, Kejagung telah mengajukan banding atas putusan tersebut. Dalam tuntutannya, PT Wilmar Group diminta untuk membayar uang pengganti sebesar Rp11.880.351.802.619. Jika uang ini tidak dibayarkan, harta Tenang Parulian selaku Direktur dapat disita dan dilelang. Dan jika tidak mencukupi, Tenang Parulian akan dikenakan pidana penjara subsidiair selama 19 tahun.
Baca Juga: Penembakan Brutal di Bali: WN Australia Tewas Mengenaskan di Vila Munggu!
Peran CPO dalam Ekspor Indonesia
Crude Palm Oil (CPO) merupakan salah satu komoditas ekspor utama non-migas Indonesia, khususnya dari wilayah Sumatera Tengah (Sumatera Barat, Riau, dan Jambi). Selain untuk ekspor, CPO yang dihasilkan di wilayah ini juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng untuk konsumsi dalam negeri.
Industri minyak sawit mentah (CPO) di Sumatera Utara juga memiliki peran signifikan dalam perkembangan ekonomi provinsi tersebut. Menjadi produsen dan eksportir minyak sawit terbesar kedua di Indonesia. Namun, sebagian besar ekspor minyak kelapa sawit masih berupa CPO, dengan sebagian besar CPO diolah menjadi produk bernilai tambah rendah seperti minyak goreng dan oleokimia dasar.
Tantangan Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan, meskipun upaya telah banyak dilakukan. Kerugian negara akibat korupsi terus meningkat, mencapai Rp4,3 triliun pada 2004, Rp5,3 triliun pada 2005, dan melonjak tiga kali lipat menjadi Rp14,4 triliun pada 2006. Kurangnya hukuman yang setimpal bagi koruptor kelas kakap dibandingkan dengan koruptor kelas kecil dinilai tidak sebanding dengan jumlah uang yang dikorupsi.
Korupsi telah menjadi kejahatan yang kronis dan sistemik, membutuhkan keseriusan dan kesinambungan dalam penanggulangannya. Yang harus dilandasi moralitas dari semua pihak yang terlibat. Kasus korupsi di Indonesia identik dengan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Dan banyak kasus yang terungkap selalu menghitung besarnya kerugian yang ditimbulkan.
Upaya Pemulihan Aset
Penyitaan dan perampasan aset dari hasil tindak pidana korupsi menjadi kebutuhan hukum untuk menegakkan keadilan dan memulihkan kerugian keuangan negara. Perampasan aset hasil tindak pidana pencucian uang yang berasal dari korupsi merupakan salah satu solusi untuk memberantas korupsi. Bertujuan untuk mengembalikan aset yang telah diambil dari negara agar dapat dipulihkan.
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memiliki prinsip dasar untuk mengembalikan aset dari tindak pidana korupsi melalui perampasan aset. Namun, Pasal 18 Undang-Undang Tipikor memiliki kelemahan karena sanksi perampasan aset bersifat tambahan dan tidak wajib diterapkan oleh hakim. Selain itu, tidak ada ketentuan yang jelas tentang cara pembuktian harta yang diperoleh dari korupsi, serta instansi yang berwenang menetapkan kerugian negara.
Manfaatkan waktu anda untuk mengeksplorisasi ulasan menarik lainnya mengenai berita viral dan terbaru hanya di Info Kriminal Hari Ini.
Sumber Informasi Gamba:
- Gambar Pertama dari viva.co.id
- Gambar Kedua dari viva.co.id